Ø Perkembangan pendidikan
Sejarah sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari
pendidikannya, begitu pula bangsa Indonesia. Perjalanan bangsa Indonesia dalam
tiga zaman, yaitu zaman pemerintah kolonial Belanda, pemerintah pendudukan
Jepang, hingga masa awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari peran
pendidikan. Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas kebijakan
dalam pendidikan. Pendidikan dari masing-masing zaman memberikan pengaruh bagi
perkembangan bangsa yang selalu berkembang sampai saat ini. Kurikulum
pendidikan yang selalu berganti seiring dengan pergantian zaman maupun
pergantian kebijakan.
Ø Perkembangan pendidikan dari zaman ke
zaman
A. Pendidikan
zaman kolonial belanda
Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya
menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan
menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada 1882,
Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi
pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda mengeluarkan
peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada
1925, terbitgoeroe-ordonnantie[2] yang
menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan
kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan
perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama
Islam
komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberap waktu berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran (Najamuddin, 2005). Pada tahun terakhir di masa pemerintahannya, dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya, ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan pada masa ini
komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberap waktu berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran (Najamuddin, 2005). Pada tahun terakhir di masa pemerintahannya, dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya, ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan pada masa ini
Hal tersebut sangat jelas karena dalam
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pada masa ini sangatlah sedikit yang
membahas masalah pengajaran untuk penduduk jajahan. Salah satunya adalah
peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa pendidikan hanya
untuk orang Belanda saja (Said dan Affan, 1987). Dan bahkan peraturan ini
berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen.
Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda
yang isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat
dimasuki baik orang Eropa maupun penduduk jajahan (Watson dalam Supriadi,
2003). Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah sekolah tersebut hanya
sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi.
Pada tahun 1817, didirikan sekolah dasar khusus
untuk anak-anak dari golongan bangsa Belanda (Europeese Lagere School). Bahasa
pengantar di sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa Belanda dan sistem maupun
kurikulumnya disesuaikan dengan yang berlaku di Belanda agar tetap sinergis
dengan sekolah lanjutan di Belanda (Boone dalam Supriadi, 2003). Sekolah ini
semakin banyak didirikan di berbagai daerah sejalan dengan semakin banyak pula
orang Belanda yang datang ke bumi nusantara sambil membawa keluarganya ikut
serta. Pendirian ELS ini tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, melainkan
juga pihak swasta seperti NZG atau yang dikenal dengan zending[3] (Supriadi,
2003).
Menurut Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang
dualitas pada masa ini juga membuat garis pemisah yang tajam antara dus
subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi. Tetapi pada tahun
1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan karena
kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa
Belanda, sebagaimana berikut:
1. Sekolah kelas
satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan
pelajaran bahasa Belanda;
2. Sekolah kelas
dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran
bahasa Belanda.
Menurut Soemanto dan Sooyarno dalam Rifa’i (2011:
59) konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi
kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor
yang lain.
Di zaman
pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis tingkatan pendidikan,
yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rifa’i,
2011: 59). Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan
kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya
dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan
priyayi yang merupakan kaum elit (Ricklefs, 2001
Menurut Ary Gunawan dalam Rifa’i (2011: 67), prinsip
kebijakan pendidikan kolonial yaitu:
1. Pemerintah
kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2. Pendidikan
diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan
kaum penjajah.
3. Sistem
persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
4. Pendidikan
diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.
5. Dasar
pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan
dan kebudayaan barat.
Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan kepada
anak-anak bengsawan bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial
yang diharapkan kelak akan menjadi kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan
atau condong ke Belanda dan merupakan kelompok elite yang terpisah dengan
masyarakatnya sendiri. Mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah
sebagai upaya Belanda untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat
dan bangsa Indonesia (Rifa’i, 2011: 67-68).
Dengan adanya Politik Etis, terjadi perubahan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bahasa Belanda mulai diberikan pula di
sekolah Kelas I dan sekolah-sekolah guru. Mr. JH. Abendanon menginginkan kursus/sekolah
kejuruan (vak), termasuk juga sekolah bagi kaum wanita (bersama dengan
Van Deventer, Abendanon, menaruh perhatian pada usaha R.A. Kartini). Sekolah
teknik pertama kali dibuka pada 1909. Untuk membuka kesempatan yang lebih luas
bagi anak-anak bumiputera ke sekolah-sekolah atau melanjutkan sekolah, di
antaranya dibuka sekolah voorklas di MULO (kelas persiapan ke
MULO). Sekolah-sekolah desa diperbanyak. Namun demikian, masih ada perbedaan
pelayanan bagi anak-anak bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu
diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia
diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu sehingga dengan dalih yang
dibuat-buat akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di
sekolah-sekolah Belanda (Rifa’i, 2011: 73-74).
Secara tegas, tujuan pendidikan selama periode
kolonial Belanda memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk
memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, di samping ada
sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga administrasi,
tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai
pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga (Rifa’i, 2011: 76-77).
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu
pidatonya mengatakan bahwa Politik Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan
kemajuan pendidikan pribumi, tetapi tetap saja pola kebijakan pendidikan
kolonial tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis, individualis dan
materialis (Rifa’i, 2011: 83).
Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena
pendidikan dan pengajaran semakin diperluas. Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan
yang pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran makin diarahkan kepada
kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung, pengaruh Politik Etis
terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum
pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan
kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh
pergerakan dan tokoh yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat (Rifa’i, 2011:
80).
B. Perkembangan
pada masa pemerintahan jepang
Meski zaman pendudukan Jepang di bumi Nusantara
sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah disisipi misi
Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk membantu
kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh
kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan sandaran politik
mereka. Pertemuan antara 32 ulama gerakan Gunseikan pada 7 Desember 1942 berisi
tukar pendapat mengenai ke-Islam-an dan komitmen Jepang untuk melindungi adat
dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga keagamaan bahkan diperkenankan secara
resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi kedudukan yang baik pada
mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa membeda-bedakannya dengan
golongan lain (Assegaf, 2005).
Bangsa Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia.
Ketika kondisi dunia saat terjadi perang, Jepang tak tinggal diam dan
menampilkan diri ikut dalam peperangan tersebut. Jepang mendapatkan prestasinya
ketika menghadapi Rusia. Jepang bercita-cita besar, yaitu menjadi pemimpin Asia
Timur Raya dan berhasil menakhlukkan Belanda yang telah lama menjajah
Indonesia. Sekolah-sekolah yang ada di zaman Belanda diganti dengan sistem
Jepang. Selama Jepang menjajah Indonesia, hampir sepanjang hari hanya diisi
dengan kegiatan latihan perang atau bekerja. Jika ada kegiatan-kegiatan
sekolah, hal tersebut tidak jauh dengan konteks Jepang sedang berperang.
Kegiatan yang dikatakan berhubungan dengan sekolah tersebut antara lain:
1. Mengumpulkan
batu dan pasir untuk kepentingan perang.
2. Membersihkan
bengkel-bengkel dan asrama-asrama militer.
3. Menanam
ubi-ubian dan sayur-sayuran di pekarangan sekolah untuk persediaan bahan
makanan.
4. Menanam pohon
jarak untuk bahan pelumas (Rifa’i, 2011: 83-84).
Di samping itu, murid setiap pagi wajib mengucapkan
sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Ada tiga macam
sekolah guru di zaman Jepang, yaitu:
1. Sekolah guru 2
tahun = Syoto Sihan Gakko,
2. Sekolah guru
menengah 4 tahun = Guto Sihan Gakko, dan
3. Sekolah guru
tinggi 6 tahun = Koto Sihan Gakko (Rifa’i, 2011: 84).
Pelajaran-pelajaran yang diberikan meliputi Sejarah
Ilmu Bumi, Bahasa Indonesia (Melayu), Adat Istiadat, Bahasa Jepang, Ideologi
Jepang, dan Kebudayaan Jepang. Untuk menyebarluaskan ideologi dan semangat
Jepang, para guru ditatar secara khusus oleh pemimpin-pemimpin Jepang selama
tiga bulan di Jakarta. Mereka diharuskan dan diwajibkan meneruskan materi yang
telah diterima kepada teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang itu
kepada murid-murid, diajarkan bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian perjuangan, atau
nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran kepada murid-murid (Rifa’i, 2011:
84-85). Menurut Soemanto dan Soeyarno dalam Rifa’i (2011: 85) memang kehadiran
Jepang di Indonesia dapat menanamkan jiwa berani pada bangsa Indonesia. Akan
tetapi semua itu demi kepentingan Jepang.
Menurut Rifa’i (2011: 85) sebenarnya tujuan
pendidikan Jepang di zaman penjajahan Jepang tidaklah banyak yang dapat
diuraikan sebab murid disibukkan dengan peperangan sehingga perhatian terhadap
pendidikan sangat sedikit. Rayuan Jepang kepada bangsa Indonesia mengatakan
bahwa Jepang adalah saudara tua yang akan datang ke Indonesia untuk mencapai
kemakmuran bersama di Asia Timur Raya atau yang terkenal dengan hakko ichiu
sebagai landasan utama pendidikan pada zaman pendudukan Jepang.
Penjajah Jepang mengambil kebijakan bahwa bahasa
Belanda dilarang dipergunakan sama sekali. Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar
resmi, baik di kantor-kantor maupun di sekolah-sekolah. Bahasa Jepang menjadi
bahasa kedua. Selama masa kependudukan Jepang inilah bahasa Indonesia
berkembang dan dimodernkan sehingga menjadi bahasa pergaulan dan bahasa ilmiah
(Rifa’i, 2011: 85).
Menurut Gunawan dalam Rifa’i (2011: 86) dari sudut
lain, dapat kita lihat bahwa secara konkret tujuan pendidikan pada zaman Jepang
di Indonesia adalah menyediakan tenaga kerja cuma-cuma yang disebut romusha dan
prajurit-prajurit untuk membantu peperangan demi kepentingan Jepang.
Pengaruhnya adalah para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliteran, dan indoktrinasi ketat. Hal ini terbukti dengan pelaksanaan senam
pagi yang disebut taiso sebelum belajar (juga bagi para pegawai sebelum bekerja)
mengikuti komando dengan radio. Mengikuti latihan kemiliteran yang disebut
kyoren bagi para pelajar dengan barisannya yang disebut seinendan, barisan
keamanan rakyat yang disebut keibodan, dan barisan prajurit yang disebut heiho.
Dengan adanya penyederhanaan sistem pendidikan dan
sekolah di zaman Jepang, kesempatan belajar terbuka lebar bagi semua golongan
penduduk di Indonesia, semua mendapat kesempatan yang sama. Jalur-jalur sekolah
dan pendidikan menurut penggolongan keturunan bangsa, strata, ataupun strata
sosial telah dihapuskan (Rifa’i, 2011: 89).
Kebijakan di bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh
Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia (mulai dari pemberlakuan sekolah gratis, pemberian
tambahan insentif guru, hingga penyederhanaan sistem persekolahan), tetapi pada
kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan politis yang membawa misi
Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa Indonesia untuk perburuhan dan mobilisasi
militer
C. Perkembangan
pendidikan setelah indonesia merdeka
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, perubahan-perubahan tidak hanya terjadi dalam bidang pemerintahan
saja, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang
pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang
menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita suatu
bangsa yang merdeka dan negara yang merdeka. Untuk mengadakan penyesuaian
dengan cita-cita bangsa Indonesia yang medeka itulah, bidang pendidikan
mengalami perubahan, terutama dalam landasan utamanya, tujuan pendidikan,
sistem persekolahan, dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat
Indonesia (Rifa’i, 2011: 122).
Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950, bangsa
Indonesia mengalami kesusahan di berbagai bidang, mulai dari sosial, ekonomi,
budaya, politik, dan pendidikan. Namun, tekad bangsa Indonesia sudah bulat
dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 untuk menata kehidupan
bersama, berbangsa, mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, lepas dari
penindasan. Salah satu sasaran dan caranya adalah dengan memajukan dunia
pendidikan untuk mencerdaskan rakyat Indonesia (Ri’fai, 2011: 130).
Pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, situasi
politik belum stabil hingga menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan
pendidikan Indonesia. Pada awal kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia (RI)
telah membentuk kementerian yang mengurus dunia pendidikan disebut sebagai
“Kementerian Pengajaran.” Ketika terjadi agresi Belanda, Kementerian Pengajaran
ditempatkan di Surakarta, pemindahan tersebut terjadi pada Januari 1946. Pada
waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi “Kementerian Pengajaran
Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang disingkat menjadi Kementerian PP dan K
(Sjamsudin, 1993: 9).
Menurut Edi Subkhan (2010), lebih dari itu, ketika
Belanda menyerang pada Desember 1948, banyak kantor kementerian dipindahkan,
termasuk Kementerian PP dan K. Waktu itu organisasi kementerian berjalan
sebagaimana mestinya dan terkenal dengan sebutan “Kementerian Gerilya.” Ketika
sudah pulih, maka pada Juni 1949, Kementerian PP dan K dipindah lagi dari
Surakarta ke Yogyakarrta dan dibentuk tiga jawatan baru: Jawatan Inspeksi
Pengajaran, Jawatan Pendidikan Masyarakat, dan Jawatan Kebudayaan. Pada awal
masa kemerdekaan itulah, dan juga tahun-tahun menjelang proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945, seorang tokoh pergerakan nasional dan pejuang
pendidikan yang besar sekali perannya adalah Ki Hadjar Dewantara. Sekarang
tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional
sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada
beliau yang telah begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan
nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah
hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis kebangsaan,
keindonesiaan dan kerakyatan. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar tentang
pendidikan dan kebudayaan sampai sekarang masih selalu dikaji dan dianggap relevan
diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah
prinsip Tut Wuri Handayani yang menjadi semboyan resmi dari
implementasi sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian hal utama yang harus diingat adalah:
pendidikan sekadar sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh kembangnya
anak-anak kita. Hal itu artinya kehidupan anak-anak tersebut berada di luar
kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai
manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah mereka
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri
(Dewantara, 2004: 21).
Menurut Edi Subkhan (2010), pendidikan yang digagas
oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan bahwa
istilah opvoeding atau pedagogieksebenarnya tidak
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir
mendekati adalah momong, among dan ngemong. Di
Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Among sebagai dasar
pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan
mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam
sistem Among inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung
Tuladha (bila berada di depan harus dapat memberi contoh), Ing
Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi gagasan
yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika di
belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).
Dengan demikian hal utama yang harus diingat adalah:
pendidikan sekadar sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh kembangnya
anak-anak kita. Hal itu artinya kehidupan anak-anak tersebut berada di luar
kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai
manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah mereka
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri
(Dewantara, 2004: 21).
Menurut Edi Subkhan (2010), pendidikan yang digagas
oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan bahwa
istilah opvoeding atau pedagogieksebenarnya tidak
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir
mendekati adalah momong, among dan ngemong. Di
Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Among sebagai dasar
pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan
mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam
sistem Among inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung
Tuladha (bila berada di depan harus dapat memberi contoh), Ing
Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi gagasan
yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika di
belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).
Tata sekolah sesudah Indonesia kemerdekaan yang
berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiap tingkatan seperti pada
zaman Jepang tetap diteruskan, sedangkan rencana pelajaran pun pada umumnya
sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk seluruh
sekolah (Rifa’i, 2011: 135). Pada tahun 1945-1950 juga menghasilkan kurikulum
nasional, yaitu pendidikan rendah, pendidikan guru, pendidikan umum, pendidikan
kejuruan, pendidikan teknik, dan pendidikan tinggi.
Berkaitan dengan keperluan bangunan sekolah,
tindakan utama adalah mengatasi bangunan rusak atau hancur lebur akibat
revolusi fisik atau bangunan tersebut dipakai oleh pemerintah. Di samping
dilakukannya usaha-usaha pemerintah dalam mengatasi kekurangan bangunan sekolah
tersebut, juga tidak ketinggalan partisipasi masyarakat yang bergotong royong
membangun bangunan sekolah dengan peralatannya dan yang kemudian disumbangkan
kepada pemerintah (Rifa’i, 2011: 151-152).
Pendidikan zaman kemerdekaan ini, dalam kondisi
sulit tersebut hebatnnya mampu menghasilkan produk hukum tentang pendidikan,
yaitu Undang-Undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950. Itulah produk hukum
pendidikan nasional pertama, terlepas kemudian kita memandang bahwa produk
hukum tersebut kurang terang memberikan definisi tentang konsep dan sistem
pendidikan nasional (Rifa’i, 2011: 148).
Selain itu di masa ini guru juga menunjukkan darma
baktinya bagi pendidikan nasional. Peran para guru salah satunya bisa kita
lihat pada 25 November 1945. Pada tanggal tersebut berdirilah Persatuan Guru
Republik Indonesia. PGRI mempunyai asas-asas perjuangan sebagai berikut:
1. Mempertahankan
dan menyempurnakan Republik Indonesia,
2. Mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, dan
3. Membela hak
dan nasib buruh pada umumnya dan guru pada khususnya (Soegarda Poerbakawatja
dalam Rifa’i, 2011: 149-150).
Kita bisa menyimpulkan bahwa usaha-usaha nyata yang
pernah dilakukan pemerintah berkaitan dengan pendidikan antara tahun 1945-1950
adalah seputar bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja, serta biaya
(Rifa’i, 2011: 151).
Ø PERJALANAN
KURIKULUM DI INDONESIA
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952,
1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa
dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu
dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi
di
masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya
masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya
1. Kurikulum
Tahun 1947 (Rentjana Pelajaran 1947)
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi
nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia
masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya
meneruskan yang pernah digunakansebelumnya
2. Kurikulum
1964 (Rentjana Pendidikan 1964)
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri
dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat
mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga
pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu
pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
3. Kurikulum
1968 (Rencana Pendidikan 1968)
Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan
pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat
jasmani,mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi
kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
4. Kurikulum
1975
Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam
hal daya dan waktu.
Menganut pendekatan sistem instruksional yang
dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang
senantiasa mengarah kepada
tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan
kepada stimulus respon
(rangsang-jawab) dan latihan
(rangsang-jawab) dan latihan
Kurikulum 1984 (Kurikulum CBSA)
Ciri-Ciri umum dari
Kurikulum CBSA adalah:
Ò Berorientasi
pada tujuan instruksional
Ò Pendekatan
pembelajaran adalah berpusat pada anak didik; Pendekatan Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA)
5. Kurikulum
1994
Ò Pembagian
tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
Ò Pembelajaran
di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi
kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK))
Ò Menekankan
pd ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
Ò Berorientasi
pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Ò Penyampaian
dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi
Ø Kesadaran nasional
PERANAN KAUM
TERPELAJAR DAN PROFESIONAL
Ò Salah satu faktor tumbuhnya nasionalisme adalah kesadaran akan kesamaan politik yang
disebabkan oleh penindasan atau penjajahan oleh bangsa lain atau oleh penguasa
yang otoriter.
Ò Menyikapi kondisi itu, kaum terpelajar dan profesional Indonesia bergerak untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Mereka membentuk
beberapa organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional
Indonesia, dan Partai Komunis
Indonesia
a)
PERANAN
KAUM TERPELAJAR DAN PROFESIONAL
Kaum terpelajar
yang pertama menyadari buruknya nasib bangsanya adalah para pelajar di
lingkungan Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) di Batavia. Mereka kemudian mendirikan
organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo (Budi Utomo).
1)
E.F.E.
DOUWES DEKKER
E.F.E. Douwes Dekker,
satu dari tiga serangkai yang
mendirikan Indische Partij. Tiga
Serangkai yang lain adalah dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan R.M. Soeardi
Soerjaningrat.
2)
MOH.
HATTA
Moh. Hatta salah
seorang anggota Perhimpunan Indonesia
yang secara terang-terangan menuntut kemerdekaan
Indonesia di dalam kongres ke-6 Liga
Demokrasi Internasional di Paris
Ø
PERANAN
PERS
Dalam sejarah
dunia, pers memegang peranan yang sangat penting dalam mendorong mobilitas
suatu masyarakat atau bangsa.
Pers mampu
memengaruhi pendapat atau opini masyarakat untuk berpikir, berbuat, atau
bertindak sesuai yang diharapkan. Ia pun mampu mendorong terjadinya
transformasi (perubahan) dalam masyarakat tersebut.
Ø
PERANAN
KAUM TERPELAJAR, PROFESIONAL, DAN PERS
Ò Kaum terpelajar dan profesional adalah kelompok
masyarakat Indonesia yang pertama-tama menyadari dan memahami nasib buruk
bangsanya. Selain berjuang untuk memerdekakan bangsanya melalui berbagai
organisasi politik, mereka menyadarkan rakyat untuk bersatu dalam melawan
penjajah Barat guna mencapai Indonesia merdeka. Salah satu cara yang ditempuh
adalah melalui pendidikan.
Ò Dalam kaitannya dengan menumbuhkembangkan kesadaran
nasional, pers juga berperan penting sebagai pihak yang membawa (transfer)
ide-ide kemerdekaan, sekaligus menjadi sarana terpenting dalam menyebarluaskan
kesadaran nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar